MINGGU SORE DI RUANG TAMAN HIJAU


 

Saat sedang asyik scroll timeline siang itu, seorang teman memberi kabar ia ingin mengajak ngopi kalau saya nganggur. Karena kebetulan hari itu Minggu, saya bilang saja, sekarang saya lagi free. Dengan penuh pertimbangan, karena teman saya ini katanya baru sampai di rumah setelah ada acara komunitas, ia memutuskan untuk mengajak saya ngopi sore itu.

Tempatnya agak unik. Ini bukan tempat ngopi estetik yang sepertinya bakal FYP di manapun. Alasan teman saya mengajak ke sini karena lebih dekat dengan rumah saya.

Sebelum saya bersiap malah teman saya sudah mengabari dia sudah datang duluan. Tidak ada dua menit saya sudah berada di lokasi dengan sedikit bingung mencari di mana teman saya berada.

Tempat ngopi ini dulunya adalah sebuah lapangan. Bahkan setelah berpuluh tahun tinggal, saya baru tahu ada lapangan di situ karena jalan itu memang jarang saya lewati. Mungkin dulu, lapangan ini tidak seperti ini. Kenapa demikian? Sebab lapangan ini adalah hasil kerja walikota yang sekarang sudah tidak lagi menjabat karena ditangkap kasus korupsi. Walikota ini membuat sebuah rancangan membangun lapangan agar warganya tidak perlu jauh-jauh mencari hiburan. Terlebih setelah ia sukses membuat sebuah lapangan menjadi lapak UMKM desa setempat, maka seluruh lapangan yang sekiranya punya potensi, ia alih menjadi RTH (Ruang Taman Hijau) yang notabene nggak ada hijau-hijaunya.

Jadi apa itu RTH?

Mungkin alasannya biar lebih estetik. Lagi-lagi sekarang manusia lebih mengedepankan visual daripada fungsi walau ini berkah bagi sebagian pekerja visual namun kembalikan lagi fungsinya seperti apa. Fungsi lapangan itu bermacam-macam. Tapi fungsi yang utama adalah tempat berkumpulnya orang apapun kegiatannya. Jadi tidak terbatas hanya olahraga saja yang selama ini kita tahu. 

Memang fungsi lapangan sebagai olahraga masih difungsikan sampai sekarang. Baik sekarang sudah diganti dengan RTH. Saya juga sempat berpikir, apa yang sebenarnya disebut dengan Ruang Taman Hijau ini?

Apa karena rumputnya hijau? Kalau iya pun sekarang tak jarang rumputnya sudah menguning semua. Mungkin karena kemarau atau memang rumput yang ada di lapangan-lapangan ini kualitasnya tak sebaik dengan kualitas yang ada di stadion internasional. Lagian jika diberi rumput yang bagus, pada akhirnya jadi kudapan para kambing warga sekitar, sudah untung diberi rumput yang hanya hijau di kala musim hujan.

Jika hanya memicu dari warna rumput, hijau di sini menjadi tidak valid. Jika merunut dengan metafora hijau memberi arti sesuatu yang rindang atau asri, maka penggunaannya menjadi tepat. Hanya saja, Ruang Taman Hijau di kota ini tidak mencerminkan sama sekali dengan keasrian. Bahkan jika mau dipaksakan disebut sebagai hutan kota saja tampaknya orang yang mengajukan ide ini agar disetujui oleh para pemangku kebijakan terlalu banyak hidupnya dihabiskan untuk mencoblos air minum gelasan dengan sedotan yang ujungnya nggak lancip.

Rindang memang bertahap tapi ketika akhirnya saat ini Ruang Taman Hijau tak juga di”hijau”kan, ya buat apa mengganti sebutan lapangan? Ditambah saya masih ingat ketika masih berada di bangku sekolah dasar, seorang guru mengharuskan setiap muridnya mempunyai “apotek hidup” di pekarangan rumahnya. 

Jika dibandingkan dari nama saja sudah lebih tercetak nyata antara apotek hidup dengan ruang taman hijau. Ruang taman hijau hanya sebuah euforia munafik untuk melenakan masyarakat ke arah pikiran lain.

Sebab yang ada di Ruang Taman Hijau adalah para pegiat UMKM menggelar lapaknya. Oke menurut saya, menciptakan pasar jual beli di sebuah ekosistem lingkungan demi mengambil alih sebuah fungsi yang tidak semestinya adalah salah. Karena tentu saja ada dua hal yang dibenturkan demi melanggengkan keinginan pribadi yang munafik. Tempat untuk sebuah lingkungan memberikan manfaatnya secara natural disandingkan sebagai tempat para manusia berkumpul akan mengurangi efek kesempurnaan lingkungan tersebut. Contoh ilustrasi yang ingin saya sebutkan di sini ada beberapa.

Semisal; taman yang hijau, yang asri, yang rindang di mana mendatangkan habitat-habitat liar yang baru bagi spesies hewan yang mulai kehilangan lahan mereka ternyata masih harus bersinggungan dengan para manusia yang kadang tak bertanggung jawab dan parahnya meninggalkan sampah. Toh bukannya kita ingin merusak euforia para pembuat kebijakan ini tapi tolonglah… pasar di tempat asri atau hutan itu pasti kaitannya misteri. Masa nggak tahu cerita pasar di lereng gunung?

Terlepas hari itu adalah hari pertama saya mengopi di situ, maka saya menikmati saja suasananya. Anak kecil bermain masih ada walau matahari sedang terik tapi di barat sana mendung sudah mulai menggumpal. Angin begitu kencang sampai tutup cangkir kopi saya selalu terbang. Beberapa terlihat ada yang memanfaatkan Ruang Taman Hijau tersebut sebagai tempat olahraga kecil. Kadang pernah waktu saya melintas ada yang bermain voli tapi hari itu begitu santai. Tipikal akhir pekan yang mau berakhir. Ada yang bermain layangan karena memanfaatkan angin.

Saya hanya berbicara mengenai seorang kerabat. Teman saya memesan ayam geprek di sore itu. Yang saya sadari ternyata para penjual UMKM di situ makanan yang sama dijual selain pecel adalah ayam geprek.

Menikmati sore kala itu dengan kopi, ayam geprek, angin yang kencang di pinggir taman bukanlah cara menikmati akhir pekan yang menakjubkan. Karena saya berpikir: jika benar nanti kelak manusia bisa merekayasa DNA dan dinosaurus kembali hidup dan Jurassic Park benar-benar ada apakah di pinggir Jurassic Park akan ada yang jualan geprek T-Rex?

Dengan sifat manusia semacam ini, sepertinya bakal ada.

Jacob

I am the man that sank Atlantis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama